Selasa, 10 Januari 2012

Pendidikan Asia Berbasis Penghafalan

Mengapa Bangsa Asia Kalah Kreatif oleh Bangsa Barat?
 Kita mungkin bertanya tannya dengan hal itu, toh kok Orang Asia dirasa kalah dari Orang Barat sana ,Mengapa yah ? Mari kita perjelas !Prof. Ng Aik Kwang dari University of Queensland, dalam bukunya Why Asians Are Less Creative Than Westerners (2001) yang dianggap kontroversial, tapi ternyata menjadi best seller (www.idearesort.com/trainers/T01.p), mengemukakan beberapa hal tentang bangsa-bangsa Asia yang telah membuka mata dan pikiran banyak orang.
1.Bagi kebanyakan orang Asia, dalam budaya mereka, ukuran sukses dalam hidup adalah banyaknya materi yang dimiliki (rumah, mobil, uang, dan harta lain). Passion (rasa cinta terhadap sesuatu) kurang dihargai. Akibatnya, bidang kreativitas kalah populer oleh profesi dokter, pengacara, dan sejenisnya yang dianggap bisa lebih cepat menjadikan seorang untuk memiliki kekayaan banyak.
2.Bagi orang Asia, banyaknya kekayaan yg dimiliki lebih dihargai daripada ”cara” memperoleh kekayaan tersebut. Tidak heran bila lebih banyak orang yang menyukai cerita, novel, sinetron, atau film yang bertema orang miskin menjadi kaya mendadak karena beruntung menemukan harta karun atau dijadikan istri oleh pangeran dan sejenisnya. Tidak heran pula bila perilaku koruptif pun ditoleransi/diterima sebagai sesuatu yang wajar.
3.Bagi orang Asia, pendidikan identik dengan hafalan berbasis "kunci jawaban", bukan pada pengertian. Ujian nasional, tes masuk perguruan tinggi, dan lain-lain, semuanya berbasis hafalan. Sampai tingkat sarjana, mahasiswa diharuskan menghafal rumus-rumus ilmu pasti dan ilmu hitung lainnya, bukan diarahkan untuk memahami kapan dan bagaimana menggunakan rumus-rumus tersebut.
4.Karena berbasis hafalan, murid-murid di sekolah Asia dijejali oleh sebanyak mungkin pelajaran. Mereka dididik menjadi Jack of all trades, but master of none (tahu sedikit-sedikit tentang banyak hal, tetapi tidak menguasai apa pun).
5.Karena berbasis hafalan, banyak pelajar Asia bisa menjadi juara dalam olimpiade fisika dan matematika, tetapi hampir tidak pernah ada orang Asia yang memenangi nobel atau hadiah internasional lainnya yang berbasis inovasi dan kreativitas.
6.Orang Asia takut salah dan takut kalah. Akibatnya, sifat eksploratif sebagai upaya memenuhi rasa penasaran dan keberanian untuk mengambil risiko kurang dihargai.
7.Bagi kebanyakan bangsa Asia, bertanya itu berarti bodoh. Karenanya, rasa penasaran tidak mendapat tempat dalam proses pendidikan di sekolah.
8.Karena takut salah dan takut dianggap bodoh, di sekolah atau dalam seminar atau workshop, peserta jarang mau bertanya, tetapi setelah sesi atau pelajaran berakhir, peserta mengerumuni guru/narasumber untuk meminta penjelasan tambahan.



Dalam bukunya itu, Prof. Ng Aik Kwang menawarkan beberapa solusi sebagai berikut.
Hargai proses. Hargailah orang karena pengabdiannya, bukan karena kekayaannya. Percuma memiliki banyak harta, tetapi uangnya dari hasil korupsi.
Hentikan pendidikan berbasis kunci jawaban. Biarkanlah murid memahami bidang yang paling dia sukai.
Janganlah menjejali murid dengan banyak hafalan, apalagi matematika. Untuk apa diciptakan kalkulator kalau jawaban utk X x Y harus dihafalkan? Biarkanlah murid memilih sedikit mata pelajaran, tetapi ia benar-benar menguasainya.
Biarkanlah anak memilih profesi berdasarkan passion (rasa cinta)-nya pada bidang itu, bukan memaksanya mengambil jurusan atau profesi tertentu yang lebih cepat menghasilkan uang.
Dasar kreativitas adalah rasa penasaran dan berani mengambil risiko. AYO BERTANYA!
Guru adalah fasilitator, bukan dewa yang harus tahu segalanya. Mari akui dengan bangga bahwa KITA TIDAK TAHU!
Passion manusia adalah anugerah Tuhan. Sebagai orang tua, kita bertanggung jawab untuk mengarahkan anak kita untuk menemukan passion-nya dan mendukungnya.

Sumber :
http://dadieditor.multiply.com/journal/item/160?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem